Telling You The Truth

Angin dingin berhembus kencang usai beberapa jam di kota kecil ini. Aku berdiri mematung memandang jalanan rel kereta api yang sudah tak terpakai dan kini tertutup butiran salju.

Jaket bomber yang ku pakai tak cukup menutupi kulitku agar merasa hangat        

Jaket bomber yang ku pakai tak cukup menutupi kulitku agar merasa hangat. Bibirku yang merah delima pun berubah menjadi ungu ke biruan.

'Siapa yang ku tunggu?'

'Sampai kapan aku harus menunggu?'

Hingga empat puluh lima menit
Tiba, seorang laki-laki mulai terlihat menghampiri ku.

Matanya yang berwarna hitam tak sebegitu pekat, menatapku khawatir. Ke dua telapak tangannya dengan sigap menyentuh kedua sisi pipiku.

Bukankah jika di sentuh, seharusnya dingin? Ini bahkan berbanding terbalik        

Bukankah jika di sentuh, seharusnya dingin? Ini bahkan berbanding terbalik.

"Marang"

"Ya, Marang-ah!" tanganya menyibak berulang tepat di depan mataku.

"Eh.. iya.." singkat ku menjawab han terkejut jika aku sepersekian detik tadi melamunkannya.

"Iya?! Kau katakan iya setelah aku melihatmu berdiri cukup lama, huh?" Kalimatnya sedikit menekan dan memelototi ku tak terima.

Aku mencoba untuk tak tergoda dengan amarahnya yang membuat pikiranku berjingkrak tak karuan. Bahkan wajahku datar dan terasa biasa saja menanggapi responnya. 

"Lalu apa yang harus ku lakukan? Aku kan menunggumu" tanyaku gamblang tanpa memikirkan kalimat selanjutnya yang akan membuat Han kembali berceramah.

Hingga titik akhir aku mendengus, dan sedikit membuatnya terasa jika harus menghentikan aksi hiperaktif miliknya.

Ahhh~ keluhku

"kau capek?" Tanyanya tak sadar.

Aku menatapnya, mencoba berkomunikasi dari batin dan berharap jika ia tau apa yang ingin ku katakan.

Hingga matanya seakan berhasil menebak apa yang ku utarakan dalam bisu.

Dan- BINGO!! Dia mengerti apa maksudku.

Han membawaku ke sebuah kedai kecil terletak di sudut jalan yang tidak begitu ramai.

Klinting~

Klinting~

Suara lonceng mungil di atas kepala pintu, bergerak tak searah. Memberi tanda jika ada pelanggan yang ingin menghangatkan diri di  kala dinginnya hari ini.

"Kau, mau minum apa?" tanyanya

"Soju" Matanya yang tadi melirik menu, kini menatapku sekilas.

"Kenapa?"

Ia menggeleng seakan ingin menuturiku.

Hingga salah seorang pelayan datang dan pergi setelah mendapatkan pesanan kami.

Sembari menunggu pesanan datang, Han memandang arah jalan yang masih tertimbun salju.

Sedangkan aku mencari kesibukan mengetuk sumpit di meja memberi sedikit melody.

"Hentikan" pecah keheningan saat suaranya meledak

"???" Pandangan ku langsung menatapnya, terhentak kaget membuat ku bertanya kenapa. Aku tau ia cukup pendiam.. di banding bersama dengan kawan-kawan nya. Hanya saja ketika ia membentak ku sedikit membuatku merasa ketakutan.

"Maaf" ucapnya jika nadanya begitu keterlaluan.

"Tidak, seharusnya aku yang mengatakan itu. Aku tidak tau jika kau benci dengan kebisingan."

"Bukan itu"

Aku menatapnya.

"Maaf, membuatmu bosan dengan keheningan dan membuatmu jengkel, sehingga mengetuk meja dengan sumpit." Jelasnya membuatku tersenyum simpul, dia kembali menatapku.

"Tapi kau cukup sensitif untuk mengetahui semua apa yang ada di pikiranku, han."

Hingga kami bersamaan saling tersenyum dan mulai membicarakan hal-hal kecil.

***

Sosoknya berlari kecil mendahuluiku berjalan, menyaku ke dua tangannya ke jas panjang berwarna hitam pekat. Dapat ku dengar sepatu bot modern miliknya mengetuk tanah, seakan menyuruhku berjalan cepat seirama dengan langkahnya.

Hingga dengan hitungan detik, sosok-ku berada di sampingnya dengan tersengal-sengal.

"Lama, uh" protes kecilnya menatapku
Udara mengepul sempurna di area wajahku.

Seharusnya dia memberi jaketnya padaku

Seharusnya dia mengatakan dengan halus

Seharusnya...
Tunggu--

Ku ralat kalimatku, saat Han memberikan jaketnya padaku.

Agr~ tidak kah romantis

"Udara sangat dingin, melihat orang sekecil dirimu berkeliaran di jalan dengan wajah seperti zombie berjalan. Lebih baik, aku mengantisipasinya sekarang"

Kalimatnya membuat ribuan dinding yang ku pasang tinggi akan dirinya, kini runtuh karena sikapnya.

"Kenapa? Jangan melirikku seperti itu. Apa yang kau harapkan dariku?" Ungkapnya membuyarkan lamunan indah ku dan sekali lagi berhadapan dengan han yang sesungguhnya. ‎

Aku menggelengkan kepalaku, berjalan mendahului han dan mengatakan jika aku ingin pulang dahulu.

Tapi apa, langkah lari Han dapat ku dengar. Tangannya yang besar menarik ku, hingga dengan refleks tubuhku jatuh di dada bidangnya, mendongak menatap han yang tengah menunduk menatap ku intens.

Jantungku! Oh… jangan sampai ia mendengar detak jantungku yang berdenyut hebat.

Tahan marang, ku rasa kekasihmu memang suka melakukan hal di luar dugaan dan menghancurkannya.

Harapan belum terlihat, hai marang~

Kembalilah pada kenyataan....
  ‎
"Apa yang kau lakukan Han?" rontaku mencoba untuk tidak terperangkap lagi.

"Siapa yang menyuruhmu pergi, uh" lontarnya

"Bukankah kau sudah menungguku setengah jam lebih hanya untuk kencan kita" imbuhnya membuat pipiku kembali memerah. Bahkan wajahku seakan lebih hangat dari biasanya karenanya.

Aku menunduk, tak berani menatapnya lagi setelah apa yang ia katakan.

"Kalimatku terkadang tak manis, tapi paling tidak penjelasan ku dapat membuatmu lega" Sekali lagi dia sukses membuat ku berbunga-bunga.

Tangan han yang tadinya mendekap ku, kini berjalan mencari telapak tangan ku untuk ia gandeng. Hingga kami pun menghabiskan kencan hari ini.

***

Cup ice cream yang sedari tadi di pegang oleh penjual dan mulai melakukan atraksinya menuangkan cream dan topping di atasnya benar-benar membuatku terkagum. Aku masih menatap Ice Cream berada di depanku yang begitu cantik, seakan belum pernah memakannya. Hingga aku melirik sejenak, pada seorang laki-laki yang sudah berdiri mematung menatapku.

"Kenapa?"

Han menggeleng heran.

Entah kenapa, bibirku tak akan bisa berhenti jika dia tak menjawab pertanyaank ku, "ada apa?"

Tatapannya kini berpaling pada seorang penjual Ice cream yang sudah membuat pesanan ku dan dengan segera membawaku pergi dengan menarik pergelangan tanganku sampai terasa sakit karena cengkramannya.

‎"Han ah, sakit" keluhku sembari menatap pegangan tanganku pada Ice cream ini.

Kami berteduh di sebuah toko kecil menunggu hujan salju menghentikan tangisnya. Ku lirik sekali lagi mimik wajahnya dengan heran.

Tak berucap...

Tak berkata...

Hanya bertanya-tanya yang tak terluap..

Hampir lima belas menit, kami berdiri. Ku lihat gerak geriknya. Ia mulai menengadah ke arah mata langit, membuka telapak tangannya menunggu salju turun dan terasa di telapak nya.

"apa yang kau lakukan?" Tanyaku masih membuatnya terdiam.

"Marang ah" wajah dinginnya menengok ke arahku.

Ke dua tangannya mengatup rapat, menghimpit air di kedua telapaknya. Tapak kakinya menghampiriku, pelan. Sampai telapaknya menyentuh ke dua pipiku dengan sukses.

Grrr~

"HAN. APA YANG KAU LAKUKANNNN" aku berjingkat-jingkat menepis telapak tangannya.

"Eh? Lalu apa yang kau lakukan?" tanyanya membuatku heran.

"Apa maksudmu?"

"Sudah tau ini musim dingin, yang kau beli kenapa Ice cream?"

"Ya, kau hanya bertanya itu? huh~"

Senyumnya terkembang simpul.

Kami sedari tadi berteduh dan berdiri di sebuah toko kue, semua berwarna indah dengan lapisan candy di sisinya. Hingga seseorang menepuk bahuku pelan, yang membuatku tersontak kaget.

"Ya!~" Seorang eonnie yang umurnya terlihat lebih tua di bandingku, sedang menenteng tas coklat kecil. Ia adalah seorang karyawan di toko itu.

"Permisi apa anda Nona Marang" ucapnya.

Aku mengangguk

"Ini untukmu" di sodorkannya tas coklat itu padaku.

"Untuk-ku? Memang dari siapa?"

Pegawai itu mulai menunjuk han yang berada di sampingku. Ia masih tak memberikan emosi bahkan respon apapun saat aku di beritahu jika ini darinya.

Akupun berterima kasih dan meninggalkan pegawai itu sembari menghampiri han.

Kami berdiri bersampingan. Sosok tinggi menjulangnya membuatku mendongak saat menatapnya.

"Berhenti menatapku."

Aku masih tersenyum dan menatapnya.

"Terima kasih, han."

Ia pun merespon ku sembari menengok ke arahku, dengan secepat kilat aku mencium bibirnya dan berhasil membuatnya terkejut.

Kami masih berdiri di tengah hujan yang masih belum reda.

Wajah han memerah seakan tak tau harus bagaimana, begitu juga diriku.

Kami pun salah tingkah.

***

Ponsel Marang berdering di pagi buta berulang kali. Hingga ia menyapu ponsel yang berada di sampingnya.

"Yoboseyo"

"marang-ah"

"Ne. kenapa menelponku pagi begini?"

"Apa kau punya waktu?" Singkatnya mengakhiri percakapan telpon mereka. Membuat marang menjauhkan ponselnya untuk bertanya-tanya apa maunya.

Klik!

Hingga marang berdiri dari kasurnya dan bergegas menemui Jisung.

.
.
.

Sosok Jisung terlihat berdiri bersandar pada pohon di area taman itu, tak menyadari kedatangan Marang.

Marangpun menghampiri jisung dengan penasaran.

"iya han?" pecah hening suasana pagi  di taman belakang rumah marang.

Han tersenyum kecil, tangannya menyambut telapak tangan Marang yang mungil.

"marang-ah" sergah Jisung langsung memeluk Marang yang terheran-heran.

"han.. ada apa?" Tak terdengar sahutan kata dari Jisung, membuat marang semakin merasa cemas, sedikit marang memberontak agar terlepas dari dekapan Jisung, agar dapat melihat matanya.

Tapi Jisung semakin erat memeluk marang, semakin mendekapnya dalam alasan bisu.

"han kenapa? kau tak apa-apa kan?"

"aku sungguh-sungguh mencintaimu.." jelasnya, di ikuti kalimatnya lagi..

"hanya kamu"

"Ya~ Han!! jelaskan padaku!!!" isak Marang kini terdengar di telinga han.

Ia mulai berfikir hal-hal aneh tentang yang akan terjadi.

Marang pun membalas berkali-kali kalimat yang ia lontarkan tadi.

"Tapi keadaan kita tidak akan bisa bersama." Paparnya membuat marang mundur dan menatap jisung tak paham.

"Maksudmu?"

"Ku harap kau menemukan hal baru dengan pasangan baru."

"YA!!! KAU GILA. KENAPA MERACAU SEPERTI ITU????"

jisung dengan mata yang berkaca-kaca sesekali menghapus air matanya yang mengembang di mata ia kedip kan berkali-kali.

"Jangan menghindari keadaan yang ada. Yang ingin ku jelaskan adalah, hubungan kita hanya sampai sini."

"YAAAAAA!!!! katakan yang jelas???" Tak terima dengan perkataan jisung, marang pun tetap mengatakan semua hal yang bisa mereka pertahankan.

Sedangkan jisung masih tetap mengatakan jika ia tak bisa bersama lagi dengannya.

Dengan berbagai alasan yang marang coba, jisung bersikeras menghentikan marang untuk tetap bertahan dengannya.

"Bagaimana jika aku mencintaimu dan menyukai yang lain juga?" Ucap jisung membuat marang kini meneteskan air mata.

Bagaimana bisa dengan perjalanan mereka selama ini, rupanya jisung memiliki wanita lain di pikirannya.

Angin silir berhembus tak tentu arah, dinginnya pagi menyusuk ke dalam hati mereka.

***

Musim kini berganti.


Begitu nampak pula hati yang kian mati terpancar padaku.

Aku berjalan menuju almari yang tak jauh dari hadapanku. Membuka pintu dan mengambil sepucuk surat berwarna merah pudar.

Membuka lembaran kertas undangan dengan nama yang tak asing pernah menduduki kisah bersamaku.

"Han Jisung"

***

Aku berjalan dengan coat sederhana, menatap gereja yang pernah ku impikan bersama dengannya.

Menghembus nafas berat melangkah di siang itu.

Beberapa tamu undangan berjalan masuk, berbincang secara kelompok dan menyisakan aku sendiri dengan keheningan hati bahkan keadaanku.

Pengantin wanita terlihat bahagia sedang berbicara dengan beberapa tamunya.

Hingga suara tak asing menyapaku membuatku menengok ke arah suara itu.

"Marang!" sapa seorang ibu-ibu setengah baya menepuk bahuku.

"Eh, emmonim" sahutku mendapati ibu han menyapaku.

"Terima kasih sudah datang, marang." Ucapnya terlihat baik-baik saja.

Ku rasa han tidak menceritakan semua, atau ia ingin jika hubungan kita tetap terlihat baik. Sehingga bisa mengundangku dalam acara pernikahannya.

"Oh.. mumpung kau di sini. Ikut eomoni"

Tangan emmonim kini menarikku menghampiri han yang terlihat canggung menatapku.

"jisung-ah, marang datang" Ku lirik wajah emmonim dan kembali pada tatapan han.

"marang" pelan suara han memanggilku.

Ingin rasanya menarik dirinya keluar, membawanya pergi, atau menggantikan posisi pendamping wanitanya.

Tapi apa? Apa seorang marang bisa? Apa seorang han mau?

"Marang.. ku tinggal dulu, ya. Kalian bicaralah" ucap eommonim seakan semuanya serba baik-baik saja.

Aku mengangguk ringan. Memuaskan senyum merekah yang entah terkembang dusta atau fakta.

Kami terdiam, dalam keadaan yang masih salah.

Bukankah sudah jelas jika lingkar hidupnya kini dengan orang lain.

"Bagaimana kabarmu?" tanya han singkat.

"Seperti yang kau lihat" nada dinginku menyeruak. Aku tak peduli.

"Mianhae" ucap han masih merasa bersalah padaku.

Hingga pengantin wanita muncul di antara kami berdua.

"marang kan!?" Ucapnya mendapat anggukan ku.

"Ah.. terima kasih ya, sudah datang" Aku kembali mengangguk.

"han banyak cerita tentangmu"

‎"begitukah"

"Mm...kau tau aku kan?" tanyanya terus menerus.

"Iya, Lee Hana"

"hana, sudah jangan banyak bicara" sela han untuk menghentikan kicau burung gadis ini.

"Arraso boo"

"Selamat atas pernikahan kalian, untuk hari ini aku ada urusan lain. Jadi aku langsung pulang saja" timpalku.

"Ya, wae cepat sekali. Makanpun belum"

"Lain kali saja, maafkan aku"

"Paling tidak berfoto"

"Tapi ak---"

"Ayolah marang, bukannya kau pernah menjadi teman dekat han bahkan mantanya" rengek hana membuatku pasrah dengannya.

Hingga kami bertiga berfoto bersama.

.
.
.

HAN JISUNG POV

Jika aku tak dapat melindungimu, jika aku terlalu menyakitimu yang kulakukan hanya kata maaf dan pergi.

Sebuah alasan yang terselip memang tak harus di ungkap.

Tapi hanya satu yang harus kau lihat, jika aku mencintaimu

.
.
.

Aku berjalan keluar dari gereja setelah urusanku selesai.

Hingga ku dapat suara sengguk tangis tak kunjung henti menggusik telingaku, di samping pintu luar gereja.

"eommonim, apa yang kau lakukan di sini" Wajahnya pucat, sama seperti wajah han yang kulihat tadi.

"Kenapa?"

"Tidak hiks.. tidak ada apa-apa marang..hiks...."ucap ibu han membuatku menerka-nerka sekaligus panik dengan apa yang terjadi.

Ibu han jatuh terduduk, seakan semua tenaga sudah terkuras habis, dan membuatku menunduk sembari menepuk punggungnya untuk menenangkannya.

"kenapa eommoni..katakan padaku?"

"Mianhae, ne. Maafkan aku yang tak becus ini" paparnya masih meracau.    

"Jangan salahkan han. Jangan limpahkan semua amarahmu padanya. Jangan berhenti mencintainya, marang" lanjutnya masih mengatakan satu persatu kalimat yang bersisa.

"Eomma...kenapa?"

"Sebenarnya.." Mataku terus memandangnya.

"han mengalami Leukimia sejak tiga tahun yang lalu"

"Dokter mengatakan jika umurnya tak panjang lagi. aku ingin melihat han sehat, ingin melihat han bahagia bersamamu, marang ah"

"Dokter menyarankan agar han rutin berobat dan kemo. sedangkan yang dapat membantu eomma dalam hal ekonomi hanya tuan kim" ibu han sontak memelukku.

"Dia sakit, han sakit. karna itu perjodohan adalah hal yang cuma bisa ku gunakan. aku sudah mengunakan cara apapun. tapi han.. anakku satu-satunya mau melakukannya dan meninggalkanmu. marang, aku ingin mengatakan semuanya padamu, tapi han membujukkku untuk tak mengatakannya padamu."

Hingga aku berdiri menatih ibu han dan memasuki gereja kembali dan menyaksikan terakhir kalinya han bersama wanita itu.

mata kami terpaut, han menatapku seakan tetap mengatakan maaf dan menjadi dosa besarnya selama ini.

hatiku berkecamuk hebat, mengetahui semua dengan terlambat.

Tapi yang bisa ku doakan hanya kebahagiannya.

Tetes air mata ini tak henti, aku mengurungkam niatku pergi sampai acara ini selesai.

Hingga semua tamu mulai satu persatu pergi. Begitu juga diriku.

Tak ku sangka, han berdiri di bawah menungguku menuruni tangga.

Air mataku mulai menetes.

Aku benar-benar merindukan dirinya yang menungguku seperti ini.

Aku menginginkan nya kembali.

Pandangan kami tak berhenti bahkan lelah untuk saling menatap.

"Kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang terlontar dan membuatnya kembali berkaca-kaca seperti enam bulan kemarin.

"Kau tau aku merindukan kata-kata itu?" Serak suara han membuatku ikut menangis.

Hingga kami sadari jika, kami tidak bisa meninggalkan kebiasaan yang sudah lama terjalin.

"Cih.. hiks"

"Maaf untuk semua yang ku lakukan"

Aku menggeleng.

"Jika kau tak mengatakan hal bohong seperti kemarin, pasti aku tidak sanggup menghadapi semua" paparku.

Hingga ia mendekapku dengan kembali meminta maaf.

Suasana siang itu terasa hanya ada kami bersama dengan perpisahan terakhir kita.

THE END


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Secret Contact behind every body|Season-2|YAOI|NC-17|ChoKi ChoKi - MIANHAE|Prolog

Wedding Dress Part.8